Skip to main content

Bahagia Itu Punya Suami Yang Bisa Diajak Komunikasi

"Kalau kebahagian sebuah rumah bergantung pada kebahagiaan seorang ibu, maka kunci kebahagiaan seorang ibu ada pada suami. "


Bener enggak, Mak?

 

Berkaca dari kasus seorang ibu di Brebes (KU) yang ingin membunuh ketiga anaknya agar hidupnya tak semenderita dirinya, persoalan mental healty yang berakhir depresi bukanlah suatu hal yang bisa dianggap remeh. Sayangnya, masih saja ada yang abai pada persoalan tersebut. Bukannya merangkul, eh malah dinyinyirin. Kalau ada yang mengeluh malah dikatain kurang iman. Jujurly, orang-orang yang mudah menghakimi seperti inilah yang mulai saya hindari. Karena bukannya membuat kita waras tapi malah sebaliknya.

 


Kembali ke topik, karena saya mau curhat tentang apa sih yang membuat saya bahagia? Kalau saya sih punya suami yang bisa diajak berkomunikasi itu bukan hanya bahagia saja, tapi anugerah.

 

“Kayak hantu saja bisa diajak berkomunikasi. Memangnya ada suami yang enggak bisa diajak berkomunikasi?”

 

Jelas ada dong! Suami yang kalau isterinya lagi curhat tapi malah tidur dengan dalih capek kerja, tapi kalau ngobrol sama sesama bapak-bapak sambil ngerokok dan ngopi ya asyik-asyik saja. Ada juga suami yang kalau isterinya ngeluh malah menghakimi atau malah dibandingkan dengan orang lain. Atau ada juga suami yang  kalau isterinya cerita ya lempeng aja, mendengarkan tapi diam padahal loh padahal, isterinya cerita karena capek dan sebuah pelukan bisa juga menenangkan. Ya makanya, banyak emak-emak yang menyimpan uneg-unegnya tapi malah berakhir depresi. Ada juga emak-emak yang akhirnya curhat di sosial media.

 

Saya sih tidak menyalahkan sepenuhnya ya kalau ada seorang emak yang akhirnya curhat di sosial media. Menurut saya, mungkin dia tidak ada tempat untuk bercerita seperti suami, teman ataupun keluarga. Ya meskipun sebenarnya bukan hal yang baik juga sih curhat atau mengeluh di sosial media, tapi daripada dipendam dan akhirnya meledak? Kalau curhat di sosial media malah bisa membuat lega (setidaknya uneg-unegnya keluar), yasudahlah… Kita hargai saja.

 

Jadi seorang perempuan, jadi seorang isteri, jadi seorang ibu itu bukanlah suatu hal yang mudah. Di zaman sekarang bahkan masih ada yang selalu menyalahkan ibunya kalau anaknya salah. Belum lagi jadi seorang isteri itu harus mengurus urusan rumah, bisa mengatur keuangan keluarga, terus bikin suami senang juga. Tuntutannya itu banyakkkkk banget. Wajar kalau kadang capek, butuh sandaran, dan butuh me time pula.

 

Kalau membahas tentang suami yang bisa diajak berkomunikasi, saya jadi ingat sepasang kakek nenek yang sang kakek itu mendengarkan cerita sang nenek saat naik pesawat. Mereka nampak bahagia sekali. Jujur ya, bikin iri dan saya berharap kelak saya dan suamipun bisa selalu bisa berkomunikasi seperti itu. Aamiin,

 

Apakah suami tipekal suami yang bisa diajak berkomunikasi?

 

Bisa! Tapi sekarang. Selalu jujur dengan uneg-uneg dan berusaha saling menghargai perasaan masing-masing bukanlah suatu persoalan yang mudah. Dulu, sayapun bisa dibilang seorang isteri yang tak 100% bisa jujur sama suami. Apalagi kalau menyangkut keluarga dari suami. Ada uneg-uneg dan belum selesai ngomong, eh suami sudah menghakimi dikira saya tidak suka sama keluarganya. Dan usut diusut, yak karena dulu di tempat kerja suami dia sering mendengar rekan kerjanya yang wanita sering banget ngobrolin tentang mertua dan ipar (obrolan yang negatif).

 

Saya sempat memendam uneg-uneg itu. Entah ada yang tidak sreg dihatipun saya pendam. Entah saya tidak menyukainya, sayapun harus terlihat menyukainya. Tapi lama-lama? Ya meledak! Bertengkar dan sama-sama merenung. Tidak ada manusia yang selamanya selalu baik-baik saja. Tersinggung akan omongan, tidak nyaman, pastinya ada. Dan semenjak saat itu, apapun yang kami rasakan selalu kami sampaikan. Bahkan ketidaknyaman saya terhadap salah satu anggota keluarganya atau kalau saya tersinggung akan omongan salah satu keluarganya ya saya bakalan jujur. Suami mau mengerti? Ya awalnya tidak, lama-lama paham juga. Suami paham watak isterinya, pun dengan watak keluarga besarnya. Mencari jalan tengahnya agar kejadian tidak terulang. 

 

Jujur!

 

Itu adalah kunci rumah tangga kami. Kalau ada masalah apapun ya kami saling memberi tahu. Sama-sama mencari solusi. Meskipun sering kalau lagi ngobrol, sayanya pakai emosi. Wkwkwkw…

 

Selain jujur dengan uneg-uneg masing-masing, saya juga suka curhat atau mengeluh tentang apa yang terjadi hari ini. Kadang sebel juga kalau dianya lempeng aja, tapi yasudah mungkin Pak Suami juga capek. Atau kadang dapat pelukan dari dia itu juga bikin bahagia.

 


Bentuk komunikasi lain dari kami adalah kami sering ngobrol tentang hal-hal receh. Tentang lagu misalnya, tentang drama Korea, bahkan tentang gossip yang lagi viral sampai dengan politik dan agama.  Padahal belum tentu juga pemikiran kami sejalur, sampai kami juga sering berdebat karena berbeda pnilaian. Obrolan receh tapi bikin bahagia, saya merasa punya teman. Apalagi sekarang kan saya sudah enggak kerja kantoran lagi.

 

Terus, kami juga saling menghargai keinginan masing-masing. Semisal Pak Suami mau futsal atau main band bersama teman-temannya ya kami komunikasikan. Pun dengan saya yang kadang pengen ngopi sama teman-teman atau pengen nonton drakor terus Pak Suami yang menjaga anak.

 

Hal lainnya sih kadang soal pekerjaan rumah. Kalau saya capek ya saya bilang capek dan mau istirahat. Kalau ditanya Pak Suami mau membantu? Ya jelas membantu. Pak Suami bisa masak? Bisa! Bisa beberes rumah? Bisa! Bisa jaga anak? Bisa! Dan hal-hal itu kami lakukan bergantian.

 

Bahkan saya pernah dengar dari tetangga saya bilang kalau saya ogah ngajak anak dan suami yang momong padahal saya di rumah saja. Kenyataannya, suami ngajak main dan ngurusin anak sementara saya di depan laptop dan pegang smartphone karena ada pekerjaan.  Selai itu, menurut kami pengasuhan anak adalah tanggung jawab berdua. Anak juga harus dekat dengan ayahnya atau ada waktu main berdua. 


Awalnya omongan tetangga itu ya membuat saya mendidih apalagi orang tersebut berteman dengan saya di sosial media dan kalau saya lagi endorse make up atau skincare malah ngomong yang enggak-enggak. Kerja dari rumah dianggap beban keluarga padahal kan tidak merugikan dia. Tapi… karena komunikasi saya sama suami, diademin dong sama Pak Suami. Cuekin. Bodo amat

 

Sekarag kalau ada orang yang menghakimi, atau ngomong enggak penting ya sudah hempaskan. Yang penting komunikasi sama suami.

 

Bahkan pernah ada tetangga yang bicara soal masa lalu saya ke suami. Ya diiyain saja sama suami, wong kami saling tahu masa lalu masing-masing.

 

Pokoknya kalau komunikasi berjalan baik, In Shaa Allah semua bakal baik-baik saja. Jadi tentang kebahagiaan kalau saya ya komunikasi. Bahagia = komunikasi. Kalau dengan Emak-Emak apa sih yang membuat bahagia? Cerita yuk 😊

 

Comments